15.687 Pengungsi Bencana di Sumut Mengalami Penyakit Kulit
3 mins read

15.687 Pengungsi Bencana di Sumut Mengalami Penyakit Kulit

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara melaporkan bahwa penyakit kulit menjadi masalah kesehatan utama bagi warga yang terdampak banjir, hingga 22 Desember 2025. Lingkungan yang tidak bersih dan kurangnya fasilitas sanitasi di tempat pengungsian menjadi penyebab utama meningkatnya kasus ini.

Sekretaris Dinkes Sumut, Hamid Rijal, melalui Tenaga Sanitasi Lingkungan Ahli Muda, Dedi Lubis, mengungkapkan terdapat lebih dari 15.000 kasus penyakit kulit yang terdeteksi. Lokasi yang paling terdampak kasus ini meliputi beberapa kabupaten, termasuk Langkat dan Tapanuli Tengah.

“Kami perlu memberi perhatian serius terhadap faktor-faktor risiko, seperti paparan air kotor dan sanitas yang memadai,” tambah Dedi. Peningkatan kepadatan pengungsian juga berkontribusi pada masalah kesehatan ini.

Penyakit Kulit dan Dampak Lingkungan Pascabanjir

Dinkes Sumut mencatat angka yang mencolok dalam kasus penyakit kulit yaitu 15.687 kasus, yang tersebar di berbagai kabupaten. Kabupaten Langkat dan Tapanuli Tengah tercatat sebagai daerah dengan kasus tertinggi, menunjukkan bahwa masalah ini cukup nyata.

Data menunjukkan bahwa setelah banjir surut, banyak pengungsi mengalami masalah kulit akibat kurangnya sanitasi yang optimal. Faktor risiko lainnya seperti air kotor juga berkontribusi dalam meningkatnya penyakit ini, terutama di daerah padat penduduk.

Penyakit kulit memiliki dampak jangka panjang, tidak hanya secara fisik tetapi juga psikologis bagi mereka yang mengalaminya. Upaya untuk menciptakan lingkungan bersih dan aman sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut.

Dedi menekankan pentingnya kerja sama dengan berbagai sektor untuk menangani masalah kesehatan ini secara komprehensif. Tindakan intervensi yang tepat diperlukan agar keadaan tidak semakin memburuk.

Meningkatnya Kasus ISPA dan Masalah Kesehatan Lainnya

Sebagai tambahan pada penyakit kulit, Dinkes juga melaporkan 12.693 kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Peningkatan jumlah kasus berlangsung di daerah yang sebelumnya terendam banjir.

Tapanuli Tengah menjadi salah satu lokasi dengan angka ISPA yang tinggi, yang menunjukkan hubungan erat antara kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Ketika kondisi lingkungan mulai mengering, kasus-kasus ini justru meningkat.

Kondisi ini menunjukkan bahwa kesehatan masyarakat tidak saja dipengaruhi oleh keadaan saat banjir, namun juga perubahan kondisi pascabencana. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan tetap harus ditingkatkan.

Penyakit lain yang teridentifikasi saat ini adalah diare, dengan jumlah mencapai 2.424 kasus, disusul dengan influenza like illness (ILI) dan demam tifoid. Data ini menunjukkan risiko infeksi berbasis air dan makanan yang masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat pascabencana.

Pentingnya Koordinasi Lintas Sektor untuk Kesehatan

Kondisi di lokasi pengungsian menyisakan banyak tantangan, dengan minimnya ruang privat menjadi salah satu masalah utama. Kondisi ini dapat berdampak pada kesehatan mental serta fisik para pengungsi.

Dedi menyebutkan bahwa dari hasil diskusi dengan tim kesehatan jiwa, minimnya ruang untuk pasangan dapat menambah beban psikologis. Pengungsi menyampaikan keinginan akan ruang privat yang layak.

Kendati masalah ini tidak menjadi ranah langsung Dinkes, dampaknya dapat terasa bagi kesehatan fisik dan mental masyarakat. Oleh karena itu, sinergi antar sektor diperlukan untuk mencari solusi yang lebih baik.

Saat ini, Dinkes mendorong kehadiran lembaga swadaya masyarakat untuk berperan aktif dalam menangani isu-isu pascabencana. Kerja sama ini diharapkan dapat mempercepat penanganan masalah kesehatan di lapangan.

Urgensi dari tindakan ini semakin tinggi, mengingat situasi dapat berubah dengan cepat. Penguatan koordinasi akan menjadi kunci dalam menangani masalah yang muncul di masa mendatang.