Santri 14 Tahun di Lamongan Diduga Korban Bullying di Pesantren
5 mins read

Santri 14 Tahun di Lamongan Diduga Korban Bullying di Pesantren

Di sebuah pondok pesantren di Paciran, Lamongan, terjadi sebuah peristiwa memilukan yang melibatkan seorang santri muda berinisial FAR (14). Mengalami perundungan hebat selama beberapa bulan, ia kini berhadapan dengan trauma yang mendalam dan luka fisik akibat tindakan kekerasan dari rekan-rekannya. Kasus ini mencerminkan masalah serius tentang bullying di lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan berkembang.

Tindakan kekerasan yang dialami oleh FAR bukanlah hal baru. Sejak awal kehadirannya di pesantren tersebut pada September 2024, ia kerap menjadi sasaran ejekan serta tindakan tidak menyenangkan dari sesama santri. Berawal dari pengambilan barang-barang pribadinya oleh RR (14), perundungan yang dialaminya semakin meningkat hingga puncaknya terjadi dalam sebuah insiden yang mengejutkan.

Puncak dari peristiwa tragis ini terjadi pada 7 Oktober 2025, saat FAR menemukan pakaiannya yang hilang di jemuran milik RR. Ketika ia menegur pelaku, situasi semakin memanas dan mengakibatkan perkelahian yang melibatkan dua santri. Insiden ini tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga menjadikan FAR enggan untuk kembali ke pesantren.

Proses Bullying di Lingkungan Pondok Pesantren

Fenomena bullying di sekolah atau pondok pesantren sangat mengkhawatirkan dan sering kali berakar dari ketidakpuasan serta dinamika sosial antar siswa. Dalam kasus FAR, perundungan dimulai dengan tindakan kecil hingga berkembang menjadi kekerasan fisik yang lebih serius. Hal ini menunjukkan bahwa bullying bisa terjadi di mana saja dan pada siapa saja, terutama di lingkungan yang seharusnya mendukung pengembangan diri.

Seiring berjalannya waktu, tindakan bullying yang dialami FAR menjadi semakin parah. Ia dipermalukan di depan teman-temannya yang lain, dan perilaku pelaku semakin berani. Ini adalah indikasi bahwa lingkungan tidak menyediakan perlindungan yang cukup bagi santri yang menjadi korban. Pengawasan yang lemah dari pihak pengurus pondok juga memperburuk situasi ini.

Kekerasan dilakukan bukan hanya dengan fisik, tetapi juga emosional, seperti penghinaan dan pengucilan dari kelompok. Dalam kasus FAR, tindakan RR yang terus-menerus mengambil barang-barangnya tanpa izin seakan menjadi bagian dari rutinitas bullying yang dialaminya. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya masalah bullying di lingkungan pendidikan.

Dampak Perundungan pada Korban

Dampak dari bullying sangat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik para korbannya. FAR yang sebelumnya ceria berubah menjadi anak yang pendiam dan trauma. Ia merasa terisolasi dan tidak ada tempat yang aman untuk berbagi perasaannya. Kasus seperti ini memperlihatkan pentingnya dukungan psikologis bagi korban bullying, agar mereka bisa pulih dan beradaptasi dengan baik.

Selain dampak psikologis, luka fisik yang dialami FAR juga menunjukkan betapa seriusnya kasus ini. Luka di mata dan kepala yang ia alami mengindikasikan bahwa kekerasan fisik dapat meninggalkan bekas yang mendalam, tak hanya secara fisik tetapi juga emosional. Korban seperti FAR memerlukan rehabilitasi serta dukungan untuk memulihkan dirinya dari trauma.

Kesehatan mental para santri yang menjadi korban juga berisiko jika tidak segera ditangani. Banyak penelitian menunjukkan bahwa korban bullying cenderung mengalami masalah seperti depresi, kecemasan, dan bahkan ide bunuh diri. Oleh karena itu, penting untuk memberikan perhatian khusus dan penanganan yang tepat bagi mereka.

Tindakan yang Diperlukan untuk Mengatasi Kasus Bullying

Untuk mengatasi masalah bullying di pondok pesantren seperti yang dialami FAR, diperlukan adanya langkah sistematis dari semua pihak. Pihak pengurus pondok pesantren harus membuat kebijakan yang jelas mengenai bullying dan memastikan setiap santri tahu bahwa tindakan tersebut tidak akan ditoleransi. Dengan demikian, akan ada kesadaran bersama untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman.

Pendidikan tentang dampak buruk bullying perlu diperkenalkan sejak dini. Santri harus diajarkan tentang empati dan pentingnya menjaga satu sama lain. Dengan demikian, mereka akan lebih mampu mengenali tindakan bullying dan berani untuk melaporkannya kepada pihak berwenang.

Selain itu, orang tua juga memiliki peran penting dalam situasi ini. Mereka perlu aktif dalam memastikan keadaan anak mereka di pesantren dan bersikap terbuka untuk mendiskusikan masalah yang mungkin dihadapi. Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak dapat meminimalisir risiko bullying.

Kesadaran dan Pelaporan Kasus Bullying

Penting bagi setiap individu untuk menyadari bahwa bullying bukanlah hal biasa dan harus dilawan. Menurut pengamatan, korban sering kali enggan untuk melapor karena takut akan konsekuensi lebih lanjut atau tidak percaya bahwa tindakan tersebut akan ditindaklanjuti. Situasi ini harus diubah agar korban merasa aman untuk melapor.

Melalui pelaporan yang tepat, pihak berwenang bisa mengambil tindakan yang diperlukan terhadap pelaku. Dalam kasus FAR, ibunya melapor ke pihak berwajib sebagai bentuk upaya untuk mencari keadilan. Tindakan ini tidak hanya untuk kepentingan anaknya, tetapi juga untuk melindungi santri lain yang mungkin menjadi korban.

Kesadaran kolektif untuk melawan dan mengatasi bullying sangat penting demi menciptakan suasana yang lebih aman untuk belajar. Tanpa kerjasama dan tindakan nyata, kasus serupa akan terus terjadi, merugikan banyak santri dan menghambat mereka dalam mengejar pendidikan.